Minggu, 19 Februari 2012

SEJARAH KERAJAAN SIAK


Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecil dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Setelah Raja Kecil dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecil berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecil yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecil mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 – 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.
Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura.


SEJARAH KEPULAUAN RIAU

Sejarah Riau sebelum kemerdekaan lebih diwarnai riwayat kerajaan Melayu Islam, dengan kerajaan terbesarnya Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kerajaan yang berpusat di Kabupaten Siak ini didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah pada tahun 1725. Sultan pertama ini meninggal pada tahun 1746 dan kemudian diberi gelar Marhum Buantan. Sepeninggal Marhum Buantan tercatat ada sebelas sultan yang pernah bertahta di Kerajaan Siak Sri Indrapura, yaitu:
-      Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765). Dengan memerintah selama leb kurang 19 tahun, Sultan kedua ini berhasil membangun Kerajaan Siak Sri lndrapura menjadi kokoh dan kuat.
-       Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766). Nama aslinya Tengku Ismail, hanya sempat memerintah selama setahun. Masa pemerintahannya datanglah serangan Belanda yang memanfaatkan Tengku Alam (selanjutnya menjadi Sultan ke empat) sebagai perisai. Sultan Abdul Jalil kemudian gugur dan digelari Marhum Mangkat di Balai. 
-      Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780). Sepeninggal Marhum Mangkat di Bali, Tengku Alam menduduki tahta kerajaan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Meninggal pada tahun 1780 dengan gelar Marhum Bukit.
-       Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muzzam Syah(1780-1782). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Siak berkedudukan di Senapelan atau Pekanbaru sekarang. Beliau pula yang merupakan pendiri kota' Pekanbaru, sehingga setelah meninggal pada tahun 1782 digelari Marhum Pekan.
-    Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784). Seperti sultan sebelumnya, Sultan Yahya juga hanya sempat 2 tahun memerintah. Meninggal pada tahun 1784 dan digelari Marhum Mangkat di Dungun.
-     Sultan Assayaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810). Sultan ketujuh ini merupakan Sultan Siakpertama yang berdarah Arab dan bergelar Sayed Syarif Pada masa pemerintahannya Kerajaan Siak mencapai puncak kejayaannya. Meninggal pada tahun 1810 dan digelari Marhum Kota Tinggi.
-      Sultan Assayaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815). Sultan yang bernama asli Ibrahim ini meninggal pada tahun 1815 kemudian digelari dengan Marhum Mempura Kecil.
-       Sultan Assayaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854). Nama aslinya tengku Sayed Ismail dan setelah meninggal digelari Marhum Indrapura.
-      Sultan Assayaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin (Syarif Kasyim 1,1864-1889). Meninggal tahun 1889, dan digelari Marhum Mahkota.
-      Sultan Assayaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Muzaffar Syah (1889-1908). Atas jasa dan usaha Sultan inilah pembangunan gedung-gedung yang kini menjadi peninggalan Kerajaan Siak. Meninggal pada tahun 1908 dan digelari Marhum Baginda.
-      Sultan Assayaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin (Syarif Kasim II, 1915-1949). Sultan yang bernama asli Tengku Sulong ini baru naik tahta setelah 7 tahun ayahandanya Sultan Hasyim meninggal, sekaligus menjadi sultan terakhir Kerajaan Siak Indrapura. Karena pada bulan Nopember 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim kawat kepada Presiden Republik Indonesia yang menyatakan kesetiaannya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Tidak hanya itu, Sultan juga menyerahkan harta bendanya untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

SEJARAH BUGIS DI TANAH MELAYU

Raja Haji
Raja Haji

[sunting] Raja-raja Melayu dan orang Bugis Luwok

Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah Tengku Kecil Shah yang memerintah Johor Riau-Lingga sabagai Raja Kerajaannya, mendirikan pusat pemerintahan Raja Kerajaan Johor-Riau di Siak, Sumatera pada tahun 1718. Maka, Sultan Sulaiman I, Raja Kerajaan Bendahara 2 Johor-Riau, menggunakan orang-orang Bugis dari Luwok, Makassar kecil, yang berkampung di Kelang untuk mendapat balik kerajaan Johor-Riau dari Sultan a Jalil Rahmat Tengku Kecil Shah.
Sebaik sahaja orang Bugis menerima persetujuan dari Sultan Sulaiman I, angkatan Bugis Luwok terus datang dengan tujuh buah kapal menuju ke pusat kerajaan Johor-Riau di Riau untuk menyerang. Kerajaan Johor-Riau alah di dalam peperangan ini dalam tahun Hijrah 1134. Sebagai upahan, Sultan Sulaiman I bersetuju untuk melantik seorang Bugis Luwok menjadi Yang Di-Pertuan Muda di Riau, bagi mempertahankan agama dan kerajaan Johor, Riau dan Lingga diserang dari luar dan dalam.
Setelah Riau berjaya ditawan, orang-orang Bugis Luwok balik ke Kelang untuk mengumpulkan orang Bugis untuk menyerang kerajaan Johor-Riau yang telah dapat menawan Riau kembali dari Sultan Sulaiman 1; raja bendahara-bendahara. Sebaik sahaja mendapat tahu penawanan Riau oleh Raja Kerajaan Johor-Riau-Lingga, Bugis Luwok, dengan 30 buah kapal, menuju ke Riau untuk berperang sekali lagi. Di dalam perjalanan, mereka menawan Linggi, sebuah daerah di Negeri Sembilan yang ketika itu dibawah kuasa kerajaan Johor-Riau-Lingga. Setelah mendapat tahu tentang penaklukan itu, pasukan raja kerajaan Johor-Riau-Lingga segera ke Linggi untuk menyerang balas.
Pihak Bugis Luwok telah berpecah dimana 20 buah daripada kapal meneruskan perjalanan menuju ke Riau dan diketuai oleh tiga orang daripada mereka. Sultan Sulaiman I telah datang dari Terengganu dan turut serta memberi bantuan untuk menawan semula Riau. Dalam peperangan ini, mereka telah berjaya merampas kembali tapak kerajaan Johor-Riau di Riau dimana kemudiannya Sultan Sulaiman I mendirikan kerajaan baru Johor-Riau.
Setelah mengetahui penawanan tapak kerajaan Johor-Riau di Riau, Sultan A Jalil Rahmat Tengku Kecil Shah, raja kerajaan Johor-Riau-Lingga kembali ke Siak kerana baginda juga telah gagal menawan semula Linggi dari tangan Sultan Sulaiman I. Pada tahun 1729, Bugis Luwok sekali lagi menyerang raja kerajaan Johor-Riau-Lingga di Siak ketika Raja Kecil ingin memindahkan alat kebesaran Diraja Johor-Riau-Lingga (sebuah meriam) ke Siak. Setelah mengambil semula kebesaran Diraja tersebut, Sultan Sulaiman I kemudiannya naik takhta Johor-Riau-Lingga sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran "Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah" yang memerintah Johor, Riau, dan Lingga.
Sultan Sulaiman telah melantik Daeng Marewah sebagai Yamtuan Muda Riau pertama dari Sapuloh. Kemudian adik perempuannya, Tengku Tengah, pula dikahwinkan dengan Daeng Parani yang mana suaminya telah mangkat di Kedah semasa menyerang raja kerajaan Johor-Riau Sultan A Jalil Rahmat Raja Kecil Shah disana. Seorang lagi adik Sultan Sulaiman Tengku Mandak dikahwinkan dengan Daeng Chelak (1722-1760).
Dalam tahun 1730-an, seorang Bugis bernama Daeng Mateko yang berbaik dengan raja kerajaan Siak mengacau ketenteraman Kelang; negeri Melayu yang diserahkan kapada orang Bugis Luwok sabagai upah membantu Sultan Sulaiman I mendapat kembali kerajaan Johor-Riau-Lingga. Ini menjadikan Daeng Chelak datang ke Kuala Selangor dengan angkatan perang dari Riau. Daeng Mateko dapat dikalahkan dan kemudiannya beliau lari ke Siak. Semenjak itu, Daeng Chelak sentiasa berulang-alik dari Riau ke Kuala Selangor.
Ketika Daeng Chelak berada di Kuala Selangor penduduk Kuala Selangor memohon kepada beliau supaya terus menetap di situ sahaja. Walau bagaimanapun, Daeng Chelak telah menamakan salah seorang daripada puteranya, iaitu Raja Lumu, datang ke Kuala Selangor. Waktu inilah datang rombongan anak buahnya dari Riau memanggil Daeng Chelak pulang ke Riau dan mangkat dalam tahun 1745.

[sunting] Raja Lumu (1742-1778)

 

Tuhfat alNafis
Tuhfat alNafis
Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang pertama, dan Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.
Sultan Iskander Zulkernain (1752-1765), Raja Kerajaan Perak ke-15 pun menyambut utusan dari Daeng Lumu di Kuala Bernam sebagai pertemuan dengan baginda. Ketibaan Daeng Lumu disambut dengan penuh istiadat raja. Setelah semua ujian itu tidak mendatangkan apa-apa bencana terhadap Daeng Lumu, baginda Sultan Iskander Zulkernain pun mengesahkan perlantikan tersebut; setelah Sultan Sulaiman I, Raja Kerajaan Johor-Riau-Lingga menolak permohonan Bugis Luwok Diraja sabagai Raja Kelang. Pertabalan penuh sejarah itu dilakukan di Pulau Pangkor dalam tahun 1756. Selesai sahaja pertabalan, Raja Lumu pulang ke Kuala Selangor.
Itulah Raja Selangor yang pertama bersemayam di atas Bukit Selangor yang dikenal dengan nama "Bukit Malawati". Menurut Tuffatul al Nafis karangan Almarhum Raja Ali Al Haji, Riau, disitu ketika Tengku Raja Selangor (Raja Lumu) pergi bermain ke Pulau Pangkor, Raja Lumu dijemput oleh Yang DiPertuan Perak untuk mengadap. Kemudian Raja Lumu pun berangkat pulang ke Kuala Selangor.
Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar Datuk Maharaja Lela Husain. Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor Kedua.
Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah kerajaan Daeng Lumu adalah punca kerajaan awal di Kuala Selangor. Daeng Lumu dilantik menjadi Yang DiPertuan Kelang Pertama, Daeng Loklok dilantik menjadi Datuk Maharaja Lela.
Kemangkatan Raja Lumu meninggalkan empat orang anak, iaitu Raja Ibrahim, Raja Nala, Raja Punuh dan Raja Sharifah. Baginda juga telah melantik seorang Bugis bernama Daeng Loklok bergelar "Datuk Maharaja Lela Husain". Seorang daripada anak perempuannya bernama Cik Long Halijah berkahwin dengan Raja Ibrahim, putera Raja Lumu dan juga Raja Selangor kedua. Raja Lumu mangkat dan dikebumikan di atas Bukit Selangor dan dinamakan "Marhum Salleh". Baginda memerintah dari tahun 1743 (1756) hingga 1778.

[sunting] Sultan Ibrahim (1778-1826)

Raja Ibrahim, putera sulung Sultan Salehuddin, dilantik menjadi Sultan Selangor kedua, adiknya Raja Nala dilantik menjadi Raja Muda dan dua orang yang lain menjadi Orang Besar bergelar di Selangor. Sultan Ibrahim dianggap seorang sultan yang berani berhati waja di samping mempunyai pengalaman yang melalui percampurannya semasa dari kanak-kanak lagi.
Bunga peperangan dan perang kecil sentiasa berlaku antara orang Bugis dengan orang Belanda sejak tahun 1740-an lagi. Api ini terus menyala selepas 14 Januari, 1784. Peperangan inilah yang mengakibatkan mangkatnya Raja Haji oleh Belanda, kemudiannya dimakamkan di Teluk Ketapang digelar "Marhum Ketapang".
Kemangkatan Raja Haji menimbulkan kemarahan Sultan Ibrahim menyebabkan Selangor terlibat secara langsung dari persengkitaan antara Belanda dengan Johor itu. Sebagai persiapan berjaga-jaga dari serangan Belanda terhadap Selangor, Sultan Ibrahim telah membina dua buah kota. Kota batu atas Bukit Selangor dan kota tanah di atas Bukit Tanjung.
Sangkaan ini tepat, pada 2 Ogos 1784, Belanda meyerang dan menakluki kedua-duanya kota tadi. Sultan Ibrahim dengan orang-orangnya lari ke Ulu Selangor, lalu ke Pahang menemui Bendahara Ab. Majid meminta bantuan.

Kabupaten Siak

Istana Kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di Daerah Riau, mencapai masa jayanya pada abad ke 16 sampai abad ke 20. Dalam silsilah Sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang pernah bertahta. Kini, sebagai bukti sejarah atas kebesaran kerajaan Melayu Islam di Daerah Riau, dapat kita lihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama ASSIRAYATUL HASYIMIAH lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan benda-benda koleksi kerajaan antara lain : Kursi Singgasana kerajaan yang berbalut (sepuh) emas, Duplikat Mahkota Kerajaan, Brankas Kerajaan, Payung Kerajaan, Tombak Kerajaan, Komet sebagai barang langka dan menurut cerita hanya ada dua di dunia dan lain-lain. Di samping Istana kerajaan terdapat pula istana peraduan.
Masjid Sultan (Masjid Raya) terletak sekitar 500 m di depan Istana Siak, dengan bentuk yang khas dan unik. Di dalamnya terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu berukir indah bermotifkan daun, sulur dan bunga. Di sebelah barat mesjid ini terdapat pemakaman Sultan Syarif Kasim beserta permaisuri dan istrinya yang selalu diziarahi oleh pengagumnya.
Makam Marhum Buantan. Pendiri Kerajaan Siak adalah Sultan Abdul Djalil Rakhmadsyah bergelar Raja Kecil dengan pusat kerajaan di Buantan. Beliau gigih berjuang membela kehormatan dalam merebut kembali kekuasaan ayahandanya di Johor yang kemudian dapat di perolehnya kembali. Beliau mangkat pada tahun 1746 dimakamkan di Buantan dan bergelar Marhum Buantan. Makamnya sampai saat ini dapat dikunjungi dengan berkendaraan air dari Siak Sri Indrapura selama 15 menit mengendarai speedboat 25 pk.
Balai Kerapatan Tinggi terletak dipinggir sungai Siak berhadapan dengan muara sungai Mempura terletak bangunan Gedung Balai Kerapatan Tinggi dengan arsitek khas dengan dua arah pintu masuk yaitu dari sungai dan dari darat (jalan raya). Bangunan ini dipergunakan untuk sidang perkara dan juga berfungsi sebagai tempat pertabalan Sultan. Gedung ini memiliki tiga tangga untuk naik ke lantai atas (lantai 2), dimana sidang selalu dlaksanakan. Tangga utama menghadap ke sungai sedangkan yang lain ke timur, gedung terbuat dari besi berbentuk spiral dan yang satunya lagi terbuat dari kayu dan terletak di sebelah barat gedung. Jika suatu perkara sudah dilakukan dan hukuman dijatuhkan, maka bagi yang kalah akan turun ke lantai dasar dengan menggunakan tangga kayu dan langsung menuju Djil (penjara) yang terletak tidak jauh dari situ. Sedangkan bagi yang menang turun melalui tangga besi dan langsung ke jalan raya. Pada saat ini untuk sementara gedung tersebut digunakan sebagai Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Siak.
Wisata Bahari di Kabupaten Siak yaitu Danau Pulau Besar terletak di Desa Zamrud, Kecamatan Siak Sri Indrapura, dengan luas sekitar 28.000 Ha, dan Danau Naga di Sungai Apit. Danau Bawah dan Danau Pulau Besar terletak dekat lapangan minyak Zamrud, Kecamatan Siak, memiliki panorama indah yang mengagumkan dan menarik. Di sekitar danau masih ditemukan hutan yang masih asli. Kondisi danau maupun hutan di sekitar danau berstatus Suaka Marga Satwa yang luasnya mencapai 2.500 hektar, dimana masih terdapat berbagai aneka jenis satwa dan tumbuhan langka. Sumber daya hayati yang terdapat di danau ini seperti pinang merah, ikan arwana dan ikan Balido yang termasuk dilindungi. Keanekaragaman jenis satwa liar di Suaka Marga Satwa danau Pulau Besar dan danau Bawah merupakan kekayaan tersendiri sebagai objek wisata tirta di Riau Daratan.
Wisata Sungai dan Wisata Agro di kabupaten Siak adalah kawasan sepanjang Sungai Siak dan Sungai Mempura. Untuk menikmati wisata sungai kita dapat menggunakan transportasi berupa sampan. Disepanjang tepian sungai dapat pula kita menyaksikan deretan pohon-pohon sawit yang tertata rapi ditanam, menambah sejuknya suasana saat kita melintasi kawasan ini.
Taman Hutan Raya Sultan Syarif Qasyim terletak di Minas yaitu : Cagar Alam Giam Siak kecil di sungai Mandau, Cagar Alam dan Satwa Tasik Belat di Sungai Apit kawasan Cagar Alam Danau Pulau Besar.
Monumen Pompa Angguk terletak di Minas. Minas terkenal dengan hasil buminya yaitu minyak bumi yang menjadi standard terbaik dunia. Minas merupakan daerah pengeboran minyak pertama untuk daerah Riau, dan pompa minyak pertama itu sekarang tidak beroperasi lagi karena minyaknya telah kering. Penetapan lokasi sumur minyak ini dilakukan pada bulan Maret 1941 dan pengeboran sumur dimulai pada tanggal 10 Desember 1944 dengan kedalaman sumur 800 m. Merk pompa yang digunakan adalah Lufkin. Pompa tersebut saat ini dijadikan monumen sejarah perminyakan di Propinsi Riau, berdiri megah di kota Minas dan terus mengangguk setiap saat.
Kompleks Makam Kototinggi terletak di sebelah timur Istana Siak. Makam-makan yang ada didalam kompleks ini seperti makam Sultan Syarif Hasyim dan ayahandanya beserta keluarga dan kerabat kerajaan lainnya. Kompleks makam ini berukuran 15 x 15 meter persegi. Nisan dari makam yang terdapat di sini semuanya berukiran sangat rumit dan indah terbuat dari kayu dan marmer. Di samping makam ini terletak makam pahlawan (Taman Bahagia Siak).
Bangunan Peninggalan Belanda terdapat di kelurahan Benteng Hilir. Bangunan Peninggalan Belanda ini berupa bekas rumah dan kantor Belanda yang saat ini sudah dimakan usia dan memerlukan pemeliharaan yang khusus, demikian pula di Benteng Hulu terdapat bangunan tangki militer Belanda yang saat ini sedang dilakukan pemugaran dan perbaikan sesuai dengan aslinya.
Kapal Kato adalah sebuah kapal besi dengan bahan bakar batu bara dimiliki oleh Sultan Siak dan selalu dinaikinya pada saat berkunjung ke daerah-daerah kekuasaannya. Kapal ini berukuran panjang 12 m dengan berat 15 ton terletak di pinggir Sungai Siak merupakan sosok monumen bersejarah yang dapat dikenang.***

Pusat Kerajaan ‘’Siak Sri Inderapura’’

oleh
Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II SH

Prakata

Kerajaan Siak adalah kerajaan Melayu Pesisir (Maritim) di tepi lalu-lintas ramai Selat Melaka dari Barat ke Timur Jauh. Sudah menjadi tradisi Kerajaan Melayu mendirikan pusat pemerintahan di dekat Muara atau di tepi sungai besar (Istana Raja) yang selalu menjadi Bandar utama kerajaan itu.Tetapi acapkali pusat pemerintahan (Istana Raja) itu berpindah karena disebabkan penyerangan musuh (peperangan), selalu terkena air bah atau oleh karena strategi perdagangan yang lebih menguntungkan. Hal ini dapat kita telusuri jika seorang Raja yang mangkat disebut selalu nama tempat mangkatnya (‘’Marhom Mangkat di...’’), yang tentu dimakamkan di tempat kedudukan istananya. Jika batu nisan Raja itu dibina, maka akan tertulis di situ tahun mangkatnya pula (Tahun Hijrah). Dengan demikian bisa ditelusuri berapa orang dan berapa lama raja-raja memerintah bermukim di tempat itu. Memang menentukan secara pasti tanggal, bulan, tahun berdirinya pusat pemerintahan di tempat itu sangat sulit, karena kebiasaan kita tidak memacakkan Prasasti seperti halnya di negeri Eropah. Saya telah berkali-kali menjadi Panitia Hari Lahir seperti Kota Medan, Kota Binjei, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli-Serdang, Kota Banda Aceh Darussalam dan lain-lain. Masing-masing dengan spesifik keunikannya tersendiri. Misalnya: Hari Lahir kota Medan, saya ambil dari ‘’Riwayat Hamparan Perak’’ dengan pendiri Guru Patimpus Sembiring tanggalnya 1 Juli dan lahirnya Gemeente Medan oleh Hindia Belanda tahunnya dari batu nisan Imam Shaddik bin Abdullah 1590 M, dekat Medan - bulannya berdasarkan adat Karo ‘’Manteki Kuta’’ mendirikan huma. Ulang tahun kota Binjei, ketika gerilyawan Datuk Kecil mendirikan benteng melawan Belanda di situ 1872. Ultah Kota Siantar tahun mangkatnya Raja Siantar Sang Nahualu dalam pembuangan di Bengkalis. Mengenai Siak ini harus kita telusuri pula sejarah kerajaan Siak. Nama Siak Dalam Catatan Sejarah

·         Nama ‘’SIYAK’’ di dalam ‘’Negarakertagama’’ karangan Empu Prapanca mengenai negeri-negeri yang ditaklukkan Majapahit 1360 M. Tidak disebutkan nama tempat kedudukan Rajanya.
·         Di dalam peta Cina ‘’WU-PEI-SHU’’ (abad ke-15 M). Ini adalah kumpulan berbagai peta-peta Cina sejak zaman Ming dinasti yang armadanya dipimpin oleh LAKSEMANA MA CHENG HO (Zeng He) dan dibuat petanya oleh asistennya bernama MA HUAN (Ying-yai-Sheng-Lan) mengunjungi negeri-negeri di sekitar Selat Nelaka (1412-1419-1421-1423-1431-1451 M). Peta mereka dari arah Barat pulang ke Cina mengharungi Selat Melaka hanya mencatat Pulau Karimun. Dari sini kapal mereka menyeberang ke pesisir Malaya terus ke Melaka dan Singapura (Tumasik) baru ke laut Cina Selatan. Dari sini bisa pecah dua, bisa menuju MALAYU (Jambi) dan SRIWIJAYA (Palembang). Memang Pulau Karimun dalam sejarah kuno ternyata sangat penting di situ, ada terdapat inskripsi aksara nagari 700-900 Saka berbunyi: -Mahayanika Galayantritacri Gautama cripadah- Tetapi tidak terdapat nama SIAK ataupun mungkin belum merupakan Bandar utama yang perlu disinggahi.
·         ZAMAN KERAJAAN MELAKA. Pada zaman pemerintahan Sultan Mansyursyah (1458-1477 M) raja Siak yang masih beragama Hindu bernama MAHARAJA PERMAISURA asal Pagarruyung diserang oleh Melaka dan rajanya dibunuh. Tetapi negeri Siak itu dibenarkan terus diperintah  oleh putera raja yang terbunuh itu. Raja baru itu, MEGAT KUDU, lalu di-Islam-kan dan takluk ke Melaka dan diberi  gelar SULTAN IBRAHIM. Ia dikawinkan dengan puteri Sultan Mansyursyah, (Raja Dewi) dan dari perkawinan ini nanti lahirlah RAJA ABDULLAH yang kemudian bergelar SULTAN KHOJA AHMADSYAH Siak. Di dalam ‘’SEJARAH MELAYU’’ Cerita ke-26 dikisahkan bahwa Raja Siak menghukum bunuh seorang rakyatnya tanpa memberitahukan ke Melaka. Sultan Alauddin Riayatsyah I Melaka mengirim Laksemana Hang Tuah ke Siak dan memaki bendahara Siak, TUN JANA PAKIBUL kurang ajar tidak melaporkan hal ini ke Melaka. Masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah I ialah (1477 mangkat 1488: Marhom Berdarah Putih). Pertengahan abad ke-15 M SIAK mulai Islam.  Juga di sini tidak disebutkan dimana ibukota Siak itu.
Sultan Ibrahim Siak mangkat digantikan puteranya RAJA ABDULLAH yang di gelar oleh Sultan Mahmudsyah Melaka,      SULTAN KHOJA AHMADSYAH.
·         CATATAN PORTUGIS. Kita ambil dari tulisan orang Portugis EMANUEL GODINHO DE EREDIA sudah terkenal nama ‘’BENCALIS’’ (Bengkalis) sebagai penghasilan ikan terubuk begitu juga ‘’SYACA’’ dan ‘’ARACAN’’ (Rokan). Dicatat bahwa Bandar ‘’ANDRIQUIR’’ (Indragiri), ‘’CAMPAR’’, ‘’SIACA’’, ‘’BENCALIS’’ semua menghasilkan lada hitam yang di export kepada orang Portugis di Melaka. Kampar juga merupakan Bandar export emas dari       Minangkabau dan disana ditempatkan ‘’Xabandar’’ (Syahbandar) bernama ‘’Chiay Chetin’’ oleh Sultan Melaka. Raja Kampar menjadi kaya karena export emas dari Minangkabau.
Bengkalis yang manghasilkan terubuk yang dijual ke Melaka adalah kedudukan dari Syahbandar yang diangkat oleh Raja Johor di Batusawar karena tempat ini dijadikan daerah langsung kerajaannya.
Pada tanggal 23-10-1526 Laksemana Portugis PEDRO MASCAR ENHAS membawa armada Portugis 20 buah kapal perang berisi 1150 serdadu menghancurkan benteng Kerajaan Siak di Bengkalis, Benteng inilah yang menjaga agar musuh jangan bisa masuk sungai Siak. Dimana istana Raja?
Pada bulan Nopember 1609 RAJA BONGSU (Sultan Abdullah) dari Johor meminta bantuan Belanda agar mengusir Portugis.       Tetapi karena ketakutan maka Kapten Benteng Portugis di Melaka meminta jasa baik RAJA HASAN (adik Sultan Siak) yang puterinya kawin dengan Sultan Johor, sehingga Gubernur Portugis di Melaka itu berhasil berdamai dengan Johor. Nyata kini bahwa Bengkalis tidak lagi tunduk di bawah Siak.
Dimana ibukota Siak?.
·         DARI CATATAN VOC ABAD KE-17 M. Dengan bantuan Imperium Johor-Riau, maka Belanda dapat merebut benteng Portugis A Famosa di Melaka pada tanggal 14 Januari 1641. Menurut laporan Belanda, Raja Siak, Raja Rokan, Raja Inderagiri dan Rengat Bengkalis dan Kampar bersahabat dengan Belanda karena perdagangan mereka tergantung dengan Belanda, meskipun mereka diam-diam terus melakukan penyerangan bajak laut terhadap kapal Belanda. Belanda mendapat Hak Monopoli timah di Siak dari Imperium Johor-Riau (Sultan Mahmudsyah-II: 1675 - akhir Agustus 1699 M).
Pada tahun 1678 Bengkalis sangat ramai dengan perdagangan terutama timah, sehingga Belanda menempatkan kapal perang dimuara sungai Siak dan kapal-kapal asing yang datang berdagang lalu di seret supaya pergi ke Melaka berdagang dengan VOC di sana. Di jangka sejak awal abad ke-18 M. punahlah turunan dinasti MEGAT KUDU memerintah di Siak. Dimana ibukota Siak?
·         SIAK ‘’SRI INDERAPURA’’
1. RAJA KECIL (Sultan Abduljalil Rahmatsyah) menjadi Sultan Imperium Riau-Johor (1717-1721 M). Kemudian ia menjadi RAJA SIAK (1723-1740 M). Baginda di gelar ‘’MARHOM BUANTAN’’. Jadi istana/ ibukota Siak adalah di Buantan (Siak di hilir Sungai Siak). Itulah awal lahir nama   ‘’SIAK SRI INDERAPURA’’.
2. RAJA BUANG (Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Syah)m.m. 1740-1760. Bergelar marhom ‘’MEMPURA BESAR’’. Ibukota Siak di Mempura Besar atau dekat sungai Buatan. Perlu di ketahui bahwa sejak Raja Kecil tersingkir dari tahta Imperium Melayu Riau-Johor diusir 5 orang Daeng Bugis bersaudara maka naik tahta disana Sultan Sulaimansyah (dari dinasti Bendahara Melaka) yang ‘’menyerahkan’’ Siak kepada VOC belanda pada tahun 1745. Dengan mangkatnya Raja Kecil di Siak, terjadilah perang saudara diantara puteranya RAJA ALAM dengan RAJA MUHAMMAD. Karena mendapat restu dari Sultan Sulaimansyah Riau-Johor ditahun 1745 itu, maka VOC membuat benteng Belanda di Pulau Gontong (1755) di muara Sungai Siak. Belanda mengusir Raja Alam dan menaikkan Raja Muhammad menjadi Sultan Muhammad Abd. Jalil Jalaluddinsyah Raja Siak. Karena Belanda mencurigainya membantu bajak laut menyerang kapal dagang Belanda, maka VOC berbalik membuat kesepakatan dengan Raja Alam untuk mengusir Sultan Muhammad. Ketika berita ini tercium, maka Sultan Muhammad menyerang benteng Belanda di Pulau Gontong 6-11-1759    dimana 65 orang serdadu Belanda tewas. Ketika Sultan Muhammad mangkat 23-11-176o dibuatlah perjanjian VOC dengan Raja Alam 16-1-1761. Tanggal 17-6-1761 tentera Belanda dari Melaka merebut benteng Pulau Gontong dan sekaligus merebut juga istana Siak di Mempura dan mengu sir keluarga Sultan Muhammad lari ke Pelalawan.
3. RAJA ISMAIL (Sultan Ismail Abd Jalil Jalaluddinsyah)m.m. 1760-11761 dan 1779-1781. Baginda adalah putera dari Sultan Muhammad (Raja Buang). Kemudian disingkirkan oleh Belanda dan mengungsi ke Pelalawan.
4. RAJA ALAM(Sultan Abduljalil Alamuddin) m.m. 1761-1766. Istana/ Ibukota Siak di Senapalan (Pekanbaru) di gelar ‘’Marhom Bukit’’.
5. TENGKU MHOD ALI (Sultan Mhod Ali Abd Jalil Muazzamsyah)   m.m. 1766-1779 Baginda mendirikan kota Pekanbaru dan setelah mangkat bergelar’’ Marhom Pekan’’. Pada bulan Agustus 1779 RAJA ISMAIL merebut Siak kembali dan Sultan Mohd. Ali takluk dan diangkat menjadi RAJA MUDA SIAK. Kesepakatan ini diakui Belanda.
6. TENGKU SULONG YAHYA bin Sultan Ismail (Sultan Yahya Abd. Jalil Muzaffarsyah) m.m. 1782-1784. Karena dibawah umur baginda dipangku oleh Raja Muda Mohd. Ali, selama 3 tahun. Kakak perempuannya kawin dengan Habib Umar Alsagaf. Baginda berniat untuk menyerang Asahan dan Batubara yang membangkang terhadap kekuasaan Siak, tetapi terhalang karena besarnya komflik sesama di Siak. SultanYahya dan SAID Ali sama-sama mengambil sebagai isteriputeri-puteri dari Tengku Musa (paman dari Sultan Yahya). Said Ali lalu diangkat menjadi penguasa daerah          Bukit Batu, tetapi Said Ali lalu berkomplot dengan para  Orang Besar Siak dan merebut tahta dan mengusir Sultan  Yahya ke Trengganu, dan mangkat disana 1784 disebut   ‘’Marhom Dungun’’.
7. SAID ALI (Sultan Assaydis Syarif Ali Abduljalil Syaifuddin) m.m 1791-1811 bergelar ‘’Marhom Kota Tinggi’’. Istana/ ibukota Siak di Siak sekarang. Pada masanya ditaklukkan Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Batubara, Temiang dan Panai serta Bilah.
8. SAID IBRAHIM (Sultan Assaydis Syarif Ibrahim Abd. Jalil Khaliluddin) m.m 1811-1827, bergelar ‘’Marhom Pura Kecil’’. Dalam tahun 1823 tgl. 21 Maret, utusan pemerintah Inggeris dari Penang (John Anderson) mengunjungi Siak. Ditulisnya dalam bukunya:‘’Beyond this (Buantan fort), about 10 miles, is the city of Siack, Sri Inderapura, situated on the sides of the river : a large and populous town, where the King resides’’ (p. 338).(Selewat benteng Buantan, kira-kira 10 mil, ditemuilah Kota Siak, Sri Inderapura, terletak di kiri dan di kanan sungai: Sebuah kota yang besar dan banyak penduduknya, dimana Raja berdiam). Tetapi tidak lama memerintah Sultan Ibrahim ini dijatuh  kan para Orang Besar dengan alasan ‘’gila karena kecanduan narkotika’’.
9. SAID ISMAIL (Sultan Assaydis Syarif Ismail Abd. Jalil Syaifuddin) m.m. 1827-1865. Gelar setelah mangkat ‘’Marhom Inderapura’’. (Siak sekarang). Dia ini bukan putera dari Sultan Said Ibrahim tetapi putera dari  Tengku Muhammad (menantu Sultan Said Ali). Selama masih di bawah umur dipangku oleh ayahandanya sendiri sampai tahun 1840. masa pemerintahan Siak dalam suasana anarchis hampir runtuh. untuk mempertahankan tahtanya ia minta bantuan seorang petualang bangsa Inggeris bernama WILSON. Tetapi ternyata Wilson menguasai Bengkalis dan lalu mengusir Sultan Ismail ini, sehingga karena terdesak ia minta bantuan Hindia Belanda. Belanda lalu mengusir Wilson (dan kemudian juga petualang Carnie) dan sebagai balas jasa Siak takluk kepada Hindia Belanda dengan ditandatanganinya ‘’Traktat Siak’’ 1-2-1858. Raja Muda Tengku Putera bersekutu dengan para Orang Besar Siak tidak puas dengan makin besarnya kuasa Belanda lalu berkomplot mengusir Belanda dari Siak. Belanda dapat mengusir Tengku Putera dan sekaligus pada tanggal 16-9-1864 menjatuhkan Sultan Said Ismail dari tahtanya.
10.SAID KASIM (Sultan Assayidis Syarif Kasim Abd. JalilSyaifuddin) m.m. 1864-1889. dialah yang membuat Mahkota emas yang indah itu sehingga ketika mangkat bergelar ‘’Marhom Mahkota’’. Sultan Said Kasim membenarkan ex-Sultan Ismail berdiam kembali di Siak. Baginda juga merehabilitir Tengku Putera dan dijadikan TENGKU MANGKUBUMI. Ibukota dan istana tetap di Siak sekarang.  Zamannya Sumatera Timur lepas dari Siak dibayar dengan ganti rugi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
11.TENGKU PUTERA SAID HASIM (Sultan Assayidis Syarif HasimAbd Jalil Syaifuddin) m.m. 1889-1908. Gelar ‘’Marhom Baginda’’.
12.TENGKU SAID KASIM (Sultan Assayidis Syarif Kasim-II Abd.Jalil Syaifuddin) m.m. 1908-1946. Kesultanan dihapuskan oleh Revolusi Sosial 3 Maret 1946.

KESIMPULAN
  1. Nama Siak sebagai sebuah kerajaan yang besar sudah ada tercatat di dalam ‘’Negarakertama’’ (penyerangan Majapahit)1360 M. Letak istana/ ibukota pastilah di pinggir muarasungai Siak yang dalam dan dapat dilayari jauh ke pedalaman.
  2. Pada zaman berjayanya KERAJAAN MELAKA, kerajaan Siak yang masih Hindu ditaklukkan Melaka, lalu putera rajanya di-Islamkan dan karena Siak sebuah kerajaan yang besar, maka Raja Siak MEGAT KUDU (Sultan Ibrahim) dijadikan menantu oleh Sultan Imperium Melayu Melaka sekira 1960 M. Letak istana/ ibukota pastilah di pinggir sungai Siak itu juga
  3. Pada zaman PORTUGIS menguasai Selat Melaka di abad ke-16 M. ‘’SYACA’’ dan ‘’BENCALIS’’ adalah bandar dagang export lada hitam dan emas. Tetapi di Bengkalis sudah ditempatkan Syahbandar Sultan Johor-Riau. Nyata Bengkalis sudah tidak dikuasai Siak. Istana/ ibukota Siak pastila di pinggir sungai      Siak juga dan dekat ke muara.
  4. V.O.C (Abad ke-17 M). Siak dan Bengkalis juga ramai sebagai Bandar perdagangan, tetapi dikuasai monopoli oleh VOC berbasis di Melaka. Sejak akhir abad ke-71 dan atau awal abad ke-18 M. punahlah dinasti Megat Kudu.
  5. NAMA ‘’SIAK SRI INDERAPURA’’ MUNCUL Pemerintahan RAJA KECIL (Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah) 1717 M. di Siak mulailah di populerkan nama ‘’Siak Sri Inderapura’’. Kedudukan istana/ ibukota Siak Sri Inderapura adalah disisi sungai Siak juga yaitu di benteng BUANTAN.  
    VI.  MASA PEMERINTAHAN SULTAN MOHD ALI ABD JALIL MUAZZAMSYAH (1766-1779) ibukotanya disekitar PEKANBARU.
  6. MASA PEMERINTAHAN SULTAN SAID IBRAHIM (1811-1827) istana / ibukota Siak Sri Inderapura dikiri dan kanan sungai Siak, 10 mil mudik dari Buantan. (catatan John Anderson 1823). Itulah masa dan tempat Istana / ibukota Sri Inderapura berdiri sampai 1946.

REPERENSI
1.      Kronik Majapahit ‘’Nagarakertama’’ karangan Mpu Prapanca
(1365 M)
2.      Peta Cina terkumpul di dalam ‘’Wu-Pei-Pi-Shu’’ (1451 M).
3.      ‘’Sejarah Melayu’’ kumpulan Belanda Tun Sri Lanang Melaka
(abad ke-16).
4.      Emanuel Gadinho de Erdia dalam ‘’Declaracam de Malacca e India
Meridional Com o Cathay’’ (1613).       
5.       W.H.M. Schadee, ‘’Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, Deel I
dan II Amsterdam 1918.
6.      John Anderson, ‘’Mission to the Eastcoast of Sumatra’’ (1826).
7.      H.T.S. Umar Muhammad/ Tenas Effendy/ T. Razak Jaafar:
‘’Silsilah Keturunan Raja-raja Kerajaan Siak Sri Inderapura  dan Kerajaan Pelalawan’’ (Pekanbaru 1987)
8.      Muhammad Yusoff Hashim, ‘’Hikayat Siak’’, DBP K.L. 1992.
9.      Tengku Luckman Sinar, SH. : ‘’Sari Sejarah Serdang’’ (1971).
10.  J.V. Mills dalam JMBRAS Vol. X, Pt.I, 1888.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar